REGULASI DILANGGAR ATAS NAMA MASYARAKAT DEMI PENCITRAAN DAN KEPENTINGAN

Tulang Bawang Barat, lingkarmerah.my.id – 02/06/2025 Saat ribuan desa di Indonesia masih berjibaku dengan jalan rusak, air bersih yang langka, dan data bantuan sosial yang semrawut, sebuah desa di Tulang Bawang Barat justru memilih memasang plafon balai desa dari Dana Desa. Bukan pembangunan jamban warga, bukan pelatihan pertanian, bukan penguatan ekonomi produktif. Plafon!

Tiyuh Karta Sari, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Lampung, belum menyandang status desa mandiri. Tapi pada tahap pertama Dana Desa tahun 2025, mereka melaksanakan rehabilitasi Balai Tiyuh, termasuk pemasangan plafon pada gedung yang sebelumnya terbuka. Di balik niat baik memperbaiki fasilitas umum, publik justru mempertanyakan arah prioritas dan kepatuhan terhadap regulasi.

Junaidi Farhan, Ketua Umum Forum Membangun Desa (Formades), angkat suara. Ia secara terbuka mengkritik keras proyek ini, menyebutnya sebagai bentuk pembangkangan terhadap aturan Dana Desa dan indikasi minimnya kepekaan terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

“Banyak warga masih butuh bantuan produktif, tapi justru yang diperbaiki plafon balai tiyuh. Apa ini urgen? Ini bukan soal plafon atau tidak, ini soal arah penggunaan dana rakyat yang melenceng,” tegas Junaidi.

Kritik itu tepat sasaran. Dalam regulasi yang berlaku, Dana Desa tidak boleh digunakan untuk rehabilitasi kantor desa, kecuali desa tersebut sudah berstatus mandiri—itu pun dibatasi maksimal 10% dari total anggaran, dan harus melalui musyawarah desa serta dituangkan dalam berita acara.

Pertanyaannya: apakah Tiyuh Karta Sari sudah mandiri? Apakah sudah ada berita acara musyawarah? Apakah plafon balai tiyuh lebih penting dibanding data sosial yang masih amburadul, warga miskin yang belum tersentuh bantuan, atau jalan tani yang tak bisa dilewati motor?

Ini bukan lagi soal niat baik, ini soal prioritas dan kepatuhan.

Kalau semua desa boleh mengklaim “demi kenyamanan masyarakat” untuk melegalkan rehabilitasi fisik, maka hancurlah semangat Dana Desa yang sejak awal dirancang untuk mendorong pemberdayaan, bukan mempercantik gedung.

Dan jika musyawarah desa hanya menjadi formalitas untuk melegalkan keinginan elite desa, maka partisipasi warga tinggal slogan.

Formades benar dalam mengingatkan: desa jangan jadi penguasa kecil yang kebal kritik. Justru karena desa diberi kewenangan luas, pengawasan dari masyarakat harus makin kuat. Dana Desa bukan milik kepala desa, bukan milik Pj. Tiyuh—tapi milik rakyat. Setiap rupiah harus kembali pada kebutuhan rakyat, bukan plafon ruangan rapat.

Pemerintah pusat juga tak boleh tutup mata. Ketika praktik-praktik seperti ini terjadi di desa yang belum mandiri, maka perlu ada tindakan tegas. Tidak cukup dengan imbauan. Diperlukan audit, klarifikasi publik, dan jika terbukti menyalahi, tindakan administratif atau hukum harus dijatuhkan.

Lebih dari itu, peristiwa ini mengingatkan kita semua: pengawasan dana publik tak boleh hanya bersandar pada aturan tertulis. Karena aturan bisa dilanggar, dimanipulasi, atau dibelokkan demi kenyamanan segelintir orang. Tapi kritik dari masyarakat, seperti yang dilakukan Junaidi Farhan, harus menjadi alarm bahwa arah pembangunan desa sedang berada di jalur yang salah.

Penulis : (Pedia HT/imam).