Dampak Ganda SGC di Lampung: Konflik Lama Yang Kian Merakyat

Bandar Lampung, lingkarmerah.my.id – Polemik seputar rencana pengukuran ulang lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sugar Group Companies (SGC) kembali mencuat ke permukaan. Wacana ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari Ketua Umum Forum Membangun Desa (Formades), Junaidi Farhan, yang menyatakan dukungan penuh terhadap langkah tersebut.
“Rencana pengukuran ulang lahan HGU milik SGC harus disikapi secara serius dan sungguh-sungguh oleh pihak-pihak yang berwenang. Jangan sampai isu ini hanya menjadi alat kepentingan politik sesaat,” tegas Farhan dalam keterangannya, Minggu (20/7/2025).
Menurut Farhan, konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan tebu tersebut bukanlah persoalan baru. Isu ini bahkan telah menjadi bagian dari cerita rakyat yang hidup di tengah masyarakat Lampung, jauh sebelum SGC mengambil alih operasional perusahaan di Tulangbawang.
Kontribusi Ekonomi vs Realitas Sosial
SGC, sebagai salah satu perusahaan besar di sektor perkebunan dan industri gula, memang memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi daerah. Kehadirannya membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak dan retribusi, serta diharapkan mendorong pembangunan infrastruktur.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan gambaran yang jauh dari ideal. Ribuan tenaga kerja lokal yang diserap oleh SGC mayoritas hanya berstatus buruh harian, khususnya sebagai pemotong tebu, dan hidup dalam kondisi ekonomi pas-pasan.
Isu pengemplangan pajak pun turut mencoreng citra perusahaan. Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Lampung bahkan sempat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke perusahaan menyusul dugaan banyaknya kendaraan operasional SGC yang tidak membayar pajak kendaraan dan alat berat.
Dari sisi infrastruktur, harapan masyarakat untuk mendapatkan akses jalan, jembatan, dan fasilitas umum yang memadai pun belum sepenuhnya terwujud. Sebaliknya, banyak warga yang merasa terisolasi dan tertinggal dalam pembangunan dibanding wilayah-wilayah lain yang tidak bersentuhan langsung dengan perusahaan.
Dampak Lingkungan dan Konflik Agraria
Alih fungsi lahan secara masif untuk perluasan kebun tebu SGC telah memicu berbagai dampak lingkungan. Deforestasi, kerusakan ekosistem, hingga pencemaran udara akibat pembakaran lahan saat panen menjadi pemandangan rutin yang harus dihadapi warga sekitar.
Konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat pun terus berulang. Tidak sedikit warga yang kehilangan hak atas tanah secara sepihak. Bahkan, dalam beberapa kasus, konflik ini telah memakan korban jiwa dari pihak masyarakat.
“Yang paling menyedihkan, bukan hanya hak-hak warga yang dirampas, tetapi juga nyawa yang hilang akibat konflik yang tak pernah selesai ini,” ujar Farhan.
Pengaruh Politik SGC
SGC disebut-sebut memiliki jejaring politik yang kuat di Lampung. Dominasi politik perusahaan ini bahkan menjadi pembicaraan dari tingkat lokal hingga nasional. Beberapa kepala daerah, baik gubernur maupun bupati, diduga memiliki hubungan politik dan finansial dengan SGC dalam proses pencalonan mereka.
“Kuatnya pengaruh politik SGC sangat berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Karena ketika kebijakan publik dikendalikan oleh kekuatan modal, maka kepentingan rakyat akan selalu dikalahkan,” lanjut Farhan.
Mendorong Solusi yang Berkeadilan
Junaidi Farhan menegaskan pentingnya pengawasan ketat terhadap operasional perusahaan seperti SGC. Partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan juga menjadi kunci agar konflik tidak terus-menerus diwariskan dari generasi ke generasi.
Ia juga mengapresiasi langkah-langkah yang mulai diambil sejumlah lembaga negara seperti Kejaksaan Agung, Komisi II dan III DPR RI, serta Kementerian ATR/BPN dalam merespons berbagai laporan dan tuntutan masyarakat. Gerakan masyarakat sipil dan korban konflik pun disebutnya sebagai kekuatan penting yang harus terus diperkuat.
“Harapannya, gelombang solidaritas masyarakat yang mengawal isu ini bisa menjadi momentum untuk mengakhiri konflik berkepanjangan yang telah menjadi bagian dari sejarah kelam masyarakat Lampung,” tutupnya.